Salah satu dimensi dalam konflik agraria di Indonesia adalah dimensi hukum. Ada dua hukum dengan sumber dan karakter yang berbeda yang melingkupi konflik pertanahan dan masing-masing memiliki eksistensi, yakni hukum negara dan hukum masyarakat atau yang sering kita kenal dengan dualisme hukum. Masing-masing pihak, negara dan masyarakat, memiliki dasar dan basis keabsahan yang berbeda. Negara dalam hal ini, pemerintah mengklaim bahwa tanah yang disengketakan adalah tanah negara yang memiliki legalitas hukum (de jure). Sementara, masyarakat lokal mendasarkan penguasaan hak atas tanahnya pada hukum adat setempat yang sudah ada, berlaku dan sudah disepakati bersama (de facto) selama bertahun-tahun. Konflik agraria berdimensi hukum seperti ini juga berpotensi terjadi dalam mega proyek Pembangunan Ibu Kota Baru (IKN). Secara legal, Pembangunan Ibu Kota Baru (IKN) telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022. Pembangunan IKN ini akan menempati lahan seluas 6.671 hektare, sebagian di antaranya adalah tanah-tanah masyarakat lokal atau adat. Dalam konteks negara demokrasi, untuk mereduksi ketegangan dan konflik hukum dalam konflik agraria di Pembangunan IKN ini, perlu adanya ruang demokrasi deliberatif, di mana hukum yang diproduksi negara harus melalui proses diskursus dan diskusi yang pertisipatif dan terbuka, dimana masing-masing pihak diberi ruang dan peluang yang sama dan setara dalam mengemukakan argumentasi (rasional) yang relevan. Setiap argumentasi dapat dikritik, diubah, bahkan diganti sesuai dengan kesepakatan yang baru. Ada komunikasi dan dialog yang setara, tidak ada dominasi dan tekanan, antara negara dan masyarakat lokal dalam mencapai sebuah konsensus baru yang lebih berkeadilan.