Gunungkidul Regency has a high suicide rate, prompting the Regional Head to publish Regent Regulation Number 56/2018 as a policy to deal with suicide cases. This measure is a concrete manifestation of systematically preventing mass suicides. The average figure, which ranges from 20 to 30 occurrences each year demonstrates that suicide is no longer an individual issue, but rather a social-human catastrophe. This study examines the role of the state in preserving people'constitutional rights in the realm of mental health through the adoption of suicide prevention measures. To understand the purpose of the law, it employs an interdisciplinary approach as an integrated perspective. This study falls under empirical research and takes a socio-legal approach. Data is collected using primary sources such as interviews, observations, and documentation, as well as secondary sources such as the review of related literature. Based on a comparison of suicide rates before and after the policy was implemented, the results indicated that the suicide prevention policy did not perform optimally in terms of effectiveness. Apparatus coordination, facilities, and social support are all influencing variables. Aside from that, the pandemic situation also contributes to the situation. Suicide prevention policy, both conceptually and practically, is an endeavor to safeguard citizens' constitutional rights by enhancing the mental health aspects of the community through the integration offormal and informal social control to accomplish effective law in accordance with its goals.
ABSTRAK: Angka bunuh diri di Gunungkidul yang cukup tinggi, menyebabkan Kepala Daerah mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 56 Tahun 2018 sebagai kebijakan untuk menangani kasus bunuh diri. Langkah tersebut menjadi wujud nyata untuk menangani dan mencegah masifnya bunuh diri secara tersistematis. Jumlah rata-rata yang mencapai angka 20 hingga 30 kasus setiap tahun, menunjukkan persoalan bunuh diri bukan lagi masalah individu, melainkan telah menjadi tragedi sosial-kemanusiaan. Penelitian ini akan membahas bagaimana implementasi kebijakan penanggulangan bunuh diri, sebagai peran negara dalam melindungi hak konstitusional warga negara di bidang kesehatan jiwa, melalui pendekatan interdisipliner sebagai integrated perspective untuk melihat tujuan hukum ditetapkan. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian empiris dan menggunakan pendekatan sosio-legal. Pengumpulan data diperoleh melalui data primer meliputi wawancara, observasi, dokumentasi serta data sekunder melalui studi literatur terkait. Hasil penelitian menunjukkan dari sisi efektivitas, kebijakan penanggulangan bunuh belum berjalan optimal berdasarkan perbandingan angka bunuh diri pra hingga pasca ditetapkannya kebijakan tersebut. Faktor yang mempengaruhi antara lain koordinasi aparat, fasilitas, dan dukungan sosial, selain itu situasi pandemi turut serta berpengaruh. Secara konseptual dan praktik, kebijakan penanggulangan bunuh diri menjadi upaya penegakan hak konstitusional warga negara melalui penguatan aspek kesehatan jiwa masyarakat dengan integrasi pengendalian sosial formal dan informal untuk tercapainya hukum yang efektif sesuai tujuannya.