Perdagangan internasional menjadi janji ‘liberalisme’untuk memajukan pembangunan sebuah negara secara umum dan kesejahteraan individu secara khusus. Ditambah lagi, para pakar ekonomi melihat adanya ‘invisible hand’(tangan-tangan tak terlihat) sebagai mekanisme pasar yang menjamin masing-masing pelaku bisnis mendapatkan keuantungan sesuai dengan usaha yang dimaksimalkan-the matter of productivity and efficiency. Logikanya, jika produsen memiliki keunggulan komparatif (comparative advantages) diyakini produk yang dihasilkan mampu mencapai akses pasar secara kompetitif. Namun kenyataannya, era globalisasi menuntut persaingan pasar yang lebih ‘ketat’. Ditambah lagi, perayaan ‘open market’di negaranegara berkembang dan kemajuan industrialisasi negara-negara maju yang berbasis teknologi tinggi membuat perdagangan internasional seolah rimba yang tidak berujung. Siapa pihak yang kuat akan bertahan, sementara pihak yang tidak mampu berinovasi akan tergusur. Sistem perdagangan memuat serangkaian peraturan dan mekanisme kebijakan yang melibatkan berbagai aktor dan multi-sektoral. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, masyarakat sebagai konsumen memiliki permintaan yang beragam dalam konteks jenis produk dan lebih spesifik serta detil dalam hal kualitas. Sebagai contoh dalam industri makanan dan minuman, konsumen ingin memastikan bahwa bahan yang digunakan merupakan pilihan para ahli, melalui proses yang higienis, dan sudah sesuai dengan standar kesehatan. Belum lagi, bagi komunitas muslim label ‘halal’menjadi sebuah kebutuhan. Sementara, untuk produk kosmetik, terutama impor, masyarakat