Usaha agribisnis karet masih menjadi pilihan bagi banyak perusahaan perkebunan di Indonesia. Sebagai bagian dari kegiatan penyiapan lahan, pengolahan tanah menjadi salah satu kultur teknis yang cukup penting. Pengolahan tanah secara mekanis dengan tahapan Ripping, ploughing dan harrowing sudah sejak dulu dilaksanakan di banyak perkebunan besar di wilayah Sumatera. Harga komoditas karet yang cukup berfluktuatif dalam beberapa tahun terakhir, mengakibatkan banyak perusahaan tidak melakukan pengolahan tanah ketika melakukan tanaman ulang (replanting). Pengolahan tanah memiliki manfaat yang sangat besar dalam mendukung budidaya tanaman karet. Bulk density tanah yang diolah akan menurun sehingga tanah menjadi gembur dan memudahkan penetrasi akar tanaman karet, aerasi tanah menjadi lebih baik karena peningkatan nilai porositas. Selain proses pengerjaannya yang lebih cepat, pengolahan tanah secara mekanis dapat mempersingkat periode belum menghasilkan dan cukup efektif dalam memusnahkan sumber inokulan penyakit jamur akar putih (JAP). Pengolahan tanah yang terlalu berat berpotensi menimbulkan dampak negatif diantaranya laju dekomposisi bahan organik meningkat dan dalam jangka panjang tanah akan mengalami penurunan kandungan bahan organik. Dekomposisi bahan organik akan melepaskan gas CO2 yang berbahaya bagi lingkungan. Larangan pembakaran dan biaya penyiapan lahan yang cukup besar telah menyebabkan beberapa perkebunan terutama Hutan Tanaman Industri memilih penyiapan lahan dengan tanpa olah tanah (TOT) atau zero tillage. Karena tidak terusik maka struktur tanah di areal TOT tidak mengalami kerusakan. Namun tingginya potensi gangguan hama dan penyakit terutama rayap dan JAP merupakan permasalahan serius yang harus segera diantisipasi. Upaya peningkatan keberhasilan penerapan TOT harus dilakukan secara komprehensif mulai dari pra penanaman maupun pasca penanaman karet di lapangan.