The phenomenon of religious exclusivity does not only occur with other religions but in one religion. The phenomenon of religious exclusivity does not only occur between religious adherents but also between groups of people within the same religion. This phenomenon can be seen in the district of East Sumba, where there is still persecution of priests of different denominations, bullying related to the caste of the congregation, and pastors are higher than others, in local culture. This article provides an understanding of the spirituality of the church's egalitarianism in anticipating Sumba's socio-cultural institutions in placing equal values and rights of everyone in the eyes of God and others, according to Philippians 2: 1-8. Research with a qualitative descriptive approach through a literature review found that churches in East Sumba Regency must be inclusive by opening themselves up to existing differences, not just doctrinal differences, but also ethnicity and caste egocentricity which must be minimized. The spirituality of the egalitarianism of the church is a divine value to continue to work on, through the existing local culture with the leaders of the people and the nobles (maramba), who sit together in divine leadership. Whole human development in the work of Christ's salvation is the focus of the church, with equal actions by leaders from any caste, open and providing equal opportunities for every believer in the local culture.
Abstrak
Fenomena eksklusivitas beragama bukan saja terjadi dengan agama lainnya tetapi dalam satu Fenomena eksklusivitas beragama bukan saja terjadi antarpemeluk agama, namun juga antarkelompok umat dalam satu agama. Fenomena ini dapat dilihat di daerah Kabupaten Sumba Timur, di mana masih terjadi persekusi terhadap pendeta yang berbeda denominasi, perundungan terkait kasta jemaat, bahwa pendeta lebih tinggi dari yang lain, dalam budaya lokal. Artikel ini memberikan pemahaman spiritualitas egalitarianisme gereja dalam mengantisipasi pranata sosial budaya Sumba dalam mendudukakn kesejajaran nilai dan hak setiap orang yang sama di mata Tuhan dan sesama, menurut Filipi 2: 1-8. Penelitian dengan pendekatan deskriptif kualitatif melalui kajian literatur menemukan bahwa gereja di Kabupaten Sumba Timur harus bersikap inklusif dengan membuka diri terhadap perbedaan yang ada, bukan sekadar perbedaan doktrin, tetapi juga egosentris sukuisme dan kasta yang harus diminimalisir. Spiritualitas egalitarianisme gereja menjadi nilai ilahi untuk terus dikerjakan, melalui budaya lokal yang ada dengan para pemimpin umat dan para bangsawan (maramba), yang duduk bersama dalam kepemimpinan Ilahi. Pembangunan manusia seutuhnya di dalam karya keselamatan Kristus menjadi fokus utama gereja, dengan tindakan kesetaraan para pemimpin dari kalangan kasta apa pun, terbuka dan memberi kesempatan yang sama untuk setiap orang percaya dalam lingkup budaya lokal.